"Jika Allah
menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia menyegerakan hukuman di dunia.
Jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Dia menahan hukuman
kesalahannya sampai disempurnakannya pada hari qiamat." (HR. Imam Ahmad,
At-Turmidzi, Al-hakim, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi). Hadits di atas bersumber
dari Abdullah bin Mughaffal. Menurut Al-Haitsami, periwayatan hadits ini
shahih.
Diriwayatkan bahwa
salah seorang lelaki telah bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya
pelacur. Lelaki itu menggoda sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas
perlakuan itu, sang wanita berkata, "Cukup!" Lantaran terkejut,
lelaki ini menoleh ke belakang, namun terbentur tembok dan terluka.
Lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan
pengalaman yang baru saja dialaminya. Komentar Rasulullah? "Engkau seorang
yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik." Selanjutnya beliau
bersabda, sebagaimana dalam hadits di atas.
Dalam riwayat
At-Turmidzi, hadits itu disempurnakan dengan lafadz sebagai berikut, "Dan
sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Jika
mereka ridha, maka Allah ridha kepadanya. Jika mereka benci, Allah
membencinya."
Kecintaan Allah
kepada hamba-Nya di dunia tidak selalu diwujudkan dalam bentuk pemberian materi
atau kenikmatan lainnya. Kecintaan itu justru sering berbentuk --oleh sebagian
orang disebut-- adzab. Sebenarnya bukan adzab, tapi yang tepat adalah ujian.
Berat ringannya ujian itu tergantung kepada kuat tidaknya iman seseorang.
Orang yang paling
disayangi dan dikasihi Allah adalah para Nabi dan Rasul. Justru mereka adalah
orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya di dunia. Ujian mereka
sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada siapapun juga. Demikian
secara berurutan, para syuhada' dan kemudian shalihin. Yang jelas bahwa setelah
orang menyatakan. "Kami beriman", Allah langsung menyiapkan ujian
baginya.
Allah berfirman:
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan
'Kami telah beriman,' lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
benar dan mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. al-Ankabut: 2-3)
Selain ujian demi
ujian diberikan kepada orang yang beriman, maka teguran demi teguran juga
diberikan kepadanya. Teguran itu kadang halus, tapi sering-sering kasar. Bagi
yang kepekaan imannya tinggi, teguran halus saja sudah cukup untuk
menyadarkannya. Akan tetapi bagi mereka yang telah hilang kepekaannya, teguran
yang keras sekalipun tak bisa menyadarkannya.
Apa yang dialami
oleh lelaki yang datang kepada Rasulullah sebagaimana hadits di atas merupakan
teguran Allah secara langsung agar ia sadar atas kekeliruannya, dan tidak
mengulang kesalahannya. Lelaki itu sangat bersyukur atas kecelakaan yang
menimpa dirinya. Wajah yang benjol dan darah yang mengalir di wajahnya tidak
seberapa dibandingkan dengan nilai kesadaran yang baru dirasakannya.
Kecelakaan itu
semakin tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan siksa yang bakal
diterimanya di akhirat kelak. Bukankah setiap dosa akan ditimbang dan dibalas
sesuai dengan bobotnya? Dengan kecelakaan itu ia bertobat. Dengan bertobat,
maka terhapuslah dosanya. Tentang hal ini Rasulullah bersabda, "Tiada
suatupun yang menimpa seorang mukmin, baik berupa kepayahan, sakit, sedih,
susah, atau perasaan murung, bahkan duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah
akan melebur kesalahan-kesalahannya lantaran kesusahan-kesusahan
tersebut." (HR Bukhari dan Muslim)
Karena itu, jika
mengalami suatu musibah, jangan cepat-cepat mengeluh. Cari dulu sebab
musababnya. Jangan-jangan musibah itu merupakan teguran dari Allah S.W.T atas
berbagai kesalahan yang telah kita lakukan. Mungkin saja musibah itu nampak
tidak ada kaitannya sama sekali, tapi cobalah untuk mengurut-urut beberapa
langkah yang pernah kita lakukan sebelumnya.
Kasih sayang Allah
tidak selalu berwujud kesenangan, melimpahnya harta, tercapainya segala
keinginan, dan jauh dari berbagai musibah. Justru bisa jadi sebaliknya. Orang
yang mendapatkan berbagai kesenangan itulah yang tidak dicintai-Nya. Orang
tersebut dibiarkan tenggelam dalam kesenangan dunia sampai tiba ajalnya. Pada
saat itu semua kesenangan dicabut dan diganti dengan berbagai siksa yang mengerikan,
baik ketika di kubur, di padang
mahsyar, maupun di neraka.