Saudaraku, langkah pertama untuk bangkit adalah menghancurkan sindrom diri yang telah lama membelenggu diri kita. Caranya? Mari kita dapatkan dari kisah inspiratif Panglima Islam, Thariq bin Ziyad.
Ombak besar bergulung seirama dengan hembusan angin laut menyergap secara bergantian semenanjung pantai Tenggara Spanyol. Deburnya terdengar begitu keras saat menghantam karang-karang terjal dan mencipratkan buih ke udara. Tak terdengar suara lain, kecuali suara alam pantai dengan berbagai harmoninya. Kesunyian seolah menelan pantai itu selama bertahun-tahun. Tapi, tidak di suatu hari pada tahun 711 M. Kesunyian itu pecah oleh berderaknya serombongan armada tempur yang telah melintasi 13 mil laut untuk menyeberangi selat Andalusia. Armada berkekuatan 7.000 prajurit ini merapat. Sebuah komando menyulut, semangatpun keluar dari sang panglima.
”Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, kemanakah kalian akan lari? Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar daripada anak yatim yang ada di lingkungn orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian!”
Tanpa keraguan sedikitpun, panglima itu memerintahkan pasukannya untuk membakar kapal-kapal yang telah membawa mereka. Banyak orang mungkin bertanya. Bukankah kapal-kapal itu adalah aset? Bukankah aset perang justru seharusnya dijaga? Tidak! Itulah prinsip sang Panglima. Secara Zahir, memang kapal-kapal itu habis terbakar, namun pada hakikatnya perintah ini juga telah membakar habis pilihan untuk menjadi pecundang dan pengecut serta meyisakan dua pilihnan, yang keduanya mulia: Menangkan pertempuran atau mati syahid. Di sinilah terbentuk kesamaan visi dan misi antara panglima dan prajurit dalam membangun tim yang kompak dan padu. Langkah ini telah membuahkan kemenangan. Sebuah kemenangan yang mengantarkan umat Islam memasuki babak baru, dakwah di bumi Andalusia.
Panglima itu adalah Thariq bin Ziyad, seorang pahlawan muslim pembebas Andalusia yang namanya diabadikan untuk menyebut bukit karang setinggi 450 meter di semenanjung pantai tenggara Spanyol. Jabal Thariq, begitulah orang Arab menamai bukit itu. Lidah eropa menyebutnya Gibraltar.
Kemenangan yang diraihnya termasuk historical moment. Betapa tidak, 7.000 prajurit muslim harus berhadapan dengan jumlah personel musuh yang jauh lebih besar, 25.000 prajurit Visigoth di bawah perintah raja Roderick. Sebuah kekuatan perang yang sangat tak berimbang, mengingatkan kita pada fenomena Perang Badar di mana pasukan musuh berjumlah lebih dari tiga kali lipat pasukan muslim.
Pasukan muslim dihadapkan pada dua pilihan mulia dalam jihad, yang keduanya berbalas pahala besar, yakni menang atau mati syahid. Ketidakberimbangan kekuatan pasukan saat itu berpotensi untuk membuat kecut nyali sebagian pasukan yang dapat meracuni kekuatan tim. Ciutnya nyali dan lemahnya semangat dapat membuat mereka berpikir untuk kembali ke pantai, mengayuh kpal meninggalkan lahan ibadah. Ini harus dicegah! Hangusnya kapal menjadi puing-puing yang teronggok membuat kemungkinan ini harus ikut hangus musnah. Seperti yang dikatakannya, ”Lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?” maju menerobos musuh, beresiko terbunuh. Mundur ke pantai, menerobos ombak laut beresiko sama. Namun, pilihan pertama tentu lebih ksatria dan mendatangkan pahala. Ada surga disana. Jika sama resikonya, tak ada alasan sedikitpun untuk memilih yang kedua. Api ruh jihad secara cepat merembet dan mengobarkan semangat 7.000 prajurit muslim. Dalam gemuruh takbir mereka maju menegakkan kalimat tahlil di bumi Andalusia.
Sejarah mencatat, mereka berhasil menundukkan Spanyol dan terus bergerak maju sampai ke perbatasan Perancis di Tours. Inilah jalur masuk Islam di Eropa Barat.
Apa hikmah dari kisah di atas?
Saudaraku, tentu ada banyak hikmah yang bisa dipetik dari kisah inspiratif ini. Terkait dengan kebangkitan diri – belajar dari pengalaman Thariq – memang tak ada jalan lain untuk dapat membangkitkan diri, kecuali mengikuti jejak Panglima Islam, Thariq bin Ziyad, ketika membakar seluruh kapal untuk memotivasi 7.000 prajuritnya guna membebaskan bumi Andalusia pada tahun 711 sebagaimana dikisahkan di atas.
Saudaraku, kita harus membakar ”kapal” agar termotivasi dahsyat dan bangkit, layaknya pasukan Thariq. Jadi, berikut ini hal-hal yang patut kita lakukan.
1. kita mesti menciptakan ”kondisi yang memotivasi untuk bangkit” yakni dengan suatu komando atau kebijakan strategis menghilangkan pilihan mundur dengan mengorbankan aset. Maksudnya, kita harus menghilangkan pilihan mundur untuk kembali menenggelamkan diri dalam kubangan sindrom Trapped in a Comfort Zone. Kita harus berani mengorbankan aset berupa ”kapal rasa kemapanan dan kenyamanan” yang telah lama menyertai kehidupan kita sehingga melenakan diri kita. Aset ini tak lain adalah pola pikir dan pola sikap kita yang sekuler.
2. Menyatukan visi dan cara pandang. Maksudnya, mulai saat ini visi dan cara pandang kita adalah mewujudkan diri yang dapat merengkuh sukses dunia dan sukses akhirat. Karenanya, sukses diri kita adalah juga bagian dari sukses (kebangkitan) umat.
Hidup Mulia atau Mati Syahid. Wallahu a’lam bi ash-shshawab.
0 comments:
Post a Comment