Thursday, May 14, 2015

Biografi K.H. Abdul Wahab Hasbullah

Latar Belakang Dan Nasab

KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau adalah Kiai Hasbullah Said, pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah putra dari Nyai Fatimah binti Abdus Salam (Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai Layyinah binti Abdus Salam, ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari).

Pendidikan

Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.

Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.

Di antara pesantren yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.

Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, beliau menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.

Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, beliau ke Makkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu, beliau juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan

KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan ummat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan seorang ulama besar Indonesia yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada tahun 1914 M.

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan analisis keislaman.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul Wahab bersama KH. Mas Mansyur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916 M. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH. Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil (Kasingan Rembang).

Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri Syansuri.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun 1924 M dan menaklukkan Madinah 1925 M.

Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.

KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH. Hasyim Asy’ari. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.

Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz.

Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad SAW dan situs-situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.

Seorang Inspirator GP Ansor

Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul Wahab Hasbullah -yang kemudian menjadi pendiri NU- membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).

Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut.

Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Mahfudz Siddiq, KH. Wahid Hasyim, KH. Dachlan.

Karya Dan Pemikiran

Selain ahli dalam bidang politik, KH. Abdul Wahab adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.

Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di lingkungan NU.

Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu memberikan pandangannya yang mampu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.

KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.

Keluarga

Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.

Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.

Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia.

Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.

Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.

Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH. Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.

Wafat

KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pads tanggal; 29 Desember 1971, empat hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di Surabaya.

0 comments:

Post a Comment