Berikut ini adalah biografi lengkap dari salah satu wali yang sangat
terkenal karena kontroversinya. Biografi Syech Siti Jenar selengkapnya
sebagai berikut :
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan
Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang
lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu
lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu
kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur.
Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yang dilakukan
oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran
resmi yang diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi
latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari
cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut
dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal
saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit
kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau
Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah.
Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata),
bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau
berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup
sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah
Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal
sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh
Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin
Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana
‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di
Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama
keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi,
yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan
agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang
bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut ke atas,
silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin
Abi Thalib, menantu Rasulullah.
Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang
menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati,
yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin.
Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi
penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah
kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang
putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti
Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang
kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka
yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar
Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar
dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di
Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan
ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk
Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di
seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun
awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela
serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang
sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi
keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur
Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan
sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh
seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu
menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu
‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai
bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan
otodidak bidang spiritual.
Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah saw diakui oleh
Rabithah Azmatkhan
Abdul Jalil Syeikh Siti Jenar bin
1. Datuk Shaleh bin
2. Sayyid Abdul Malik bin
3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin
Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin
4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin
6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin
7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin
8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di
Oman) bin
9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
11. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
12. Sayyid Alawi Awwal bin
13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin
15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin
16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin
17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin
19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin {menikah dengan (34.a) Fathimah binti
(35.a) Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam Hussain} bin
21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin
(22.a) Imam Ali bin (23.a)Abu Tholib dan (22.b) Fatimah Az-Zahro binti
(23.b) Muhammad SAW
(Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari
(Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta,
1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta,
1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus
Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan
Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817),
Syech Siti Jenar Wali Kesepuluh
Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila
realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau
hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan
tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenas, Keberadaannya
yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data
sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.
Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor
KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi
Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh).
Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas.
Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang
terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali
sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu
sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar
sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan.
Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh
tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak
di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau
yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti
ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi
Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah
karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti
Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah
Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau
telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu
uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis
terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan
Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang
mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak
tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data
beliau dengan realitas yang penulis jumpai.
Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya
dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi
manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan
ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu
kerajaan Majapahit.
Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa
untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala
akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya,
karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah
sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa,
Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno,
sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama
Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5
putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid
Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).
Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan
dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden
Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di
daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan
istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian
Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya
dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan
kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi
Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah
yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir
dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan
ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel
(yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.
Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden
Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta).
Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf
kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham
dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur.
Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya
terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri
(Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)
Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik
simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging
atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki
Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko
Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual
sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan
konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir
memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya
ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur
kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan.
Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran
Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.
Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang
menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik.
Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa.
Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud)
yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh
menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan,
hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga
akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi
esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik
dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan
esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam
belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.
Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut,
sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran
apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam.
Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya
kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara
Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh
menyebarkan ajaran sesat.
Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi
tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang
begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan
tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga
yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara
Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah
yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil
makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara)
sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro
merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri
merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun
sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden
Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi
(Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran
bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.
Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul
Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya
dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup
rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu ‘alaam
Oleh: Husni Hidayat el-Jufri
Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukup menarik.
Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dan sosol
Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yang
menerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang
diperlihatkan oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar
hanyalah yang berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan
Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan
awal abad XVI. Tentu hal ini juga masih mengecualikan sebagian kisah
versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi
pada masa Sultan Trenggono.
Sedangkan yang berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang
ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling
tidak terdapat beberapa asumsi (tujuh versi) mengenai proses
meninggalnya Syekh Siti Jenar.
Versi Pertama
Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak,
Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan
Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga,
yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini
mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.
Versi Kedua
Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana
hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaannya
di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian
dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten.
Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan
Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), Syekh Siti
Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur
darar berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar
kemudian berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring
dengan kata-kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan
selain dari Allah Yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak
akan memperoleh apa yang dia inginkan”.
Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki
kelanjutan yang hampir sama.
Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa
setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur
Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian
Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu
magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan
oleh raja.
Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil
melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para
santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang
sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat para santri
diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang
tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.
Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama
lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu
terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah,
lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah
peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.
Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud
sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari.
Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya
terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.
Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga dikisahkan bahwa para
ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan
bangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yang
dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai
itu dipertontonkan keesokan harinya kepada masyarakat untuk
mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat.
Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata
diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datang ke
Demak untuk menuntut balas.
Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para Wali
yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya, dia
menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan (Sofwan, 2000: 221):
“...luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke
sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang
lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake
sira nora bisa luruh reh tanah jawa tan ana...”
...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti
aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok,
rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendak
mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa
tidak ada...”
Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri,
berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.
Versi Ketiga
Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan
Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung
Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri
atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).
Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang banyak
muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluar
dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan,
manusia dan alam (Hariwijaya, 2006: 41-42).
Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling
kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan
alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning
Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan
“Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia
Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga,
intelektual spiritual, dan kepala dadanya.
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan
“uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan kosong.
Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam
Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari
berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan bahwa
ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral
masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar
dijatuhi hukuman mati.
Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untuk
memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak
secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara
(Widji saksono, 1995: 61).
Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah pendiriannya, maka
hukuman tersebut akan dilaksanakan.
Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya
pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan ajaran
wahdatul wujud meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun
berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berbubah pendiriannya. Maka
dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah
disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan
keraton agar orang-orang tidak memujinya.
Versi Keempat
Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhi Sunan
Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana
yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar
meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat
menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan
hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah
mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela
kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan
mengatakan bahwa dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia
mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini
berada di dalam surga.
Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya
berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana
yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218).
Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad
Tanah Jawa yang disandur oleh S. Santoso, dengan versi yang sedikit
memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang
ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena
dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali
ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan
bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar.
Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh
Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan
menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan
bahwa dia rela mati.
Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia
terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang
jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu
seketika keluar darah berwarna merah.
Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula
gusti, karena darah yang keluar berwarna merah”. Dari merah yang
mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata
lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau
‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya,
berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh
Siti Jenar hilang dan darahnya sirna.
Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing,
membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa
mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan
ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di
bakar.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang
penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia
berkata, ”Saya dengar para Wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti
Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh.
Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar
penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang
sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika
tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).
Versi Kelima
Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan
yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi
tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat
Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu
bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi
ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk
dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali
dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon
sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon.
Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi
semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti
Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon
diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh
Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke
desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon
menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan
Amparan Jati.
Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan
kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang
telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara
Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya
Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar
merasa aman tinggal di Cirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak.
Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke
Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus,
bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para
murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para
Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana
Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju
padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang.
Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para
Wali telah berkumpul.
Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuan adalah Sunan
Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan
Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan
eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu
terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang
dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh
Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh
Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi
orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara
diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang
dirahasiakan, sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu
dimasukkan bangkai anjing hitam.
Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar
dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak
di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor
anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika
itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar
orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan
ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28).
Versi Keenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saatu
hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh
Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para
anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena
Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon
kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan
para Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya
sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat
Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian
disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir Mulkan (t.t).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang
terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di
dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti
Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar
dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran
Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang
utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk
mengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh
Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar
menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah
Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan,
merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran,
tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal
kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila
dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa
mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu
makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu
mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya.
Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih
meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari
shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang
tidak pernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan
Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar.
Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh
Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti
Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya,
Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti
Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi
muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah
mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding
dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali
untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan
ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung,
Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan
itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan
persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana.
Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut terlibat
perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan
Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti
Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan
raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging
yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena
ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar
kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal
dunia.
Versi Ketujuh
Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang
berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali.
Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak
Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian
terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan
pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada Syekh Siti
Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan
Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari
Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar
di Baghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar
karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian.
Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama
untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang
penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal
mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat
tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada
tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar
memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan
perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam.
Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar
mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa
bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang
ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah
melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru
dan anggota Wali Songo.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam
berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar
menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga
ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena
naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai
dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh,
sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan,
termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki
dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah
kekuasaan Raden Fatah.
Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat
dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa
tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan
pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah
Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing
Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan
Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai.
Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh
oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh,
mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278).
Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan
Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para
adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang
dibingkai dalam sikap yang lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah
Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar.
Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum
mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan
kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor
inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian
memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar
bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid
Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di
bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi
dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran
atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.
Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi
duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk
selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu
ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak
kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai
al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor).
Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada
zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa,
disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda
pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi
secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai
dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi
politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa
Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga
digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai
surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian
karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam
mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat
tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan
menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang
dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di
mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan
Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan
pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut
Nyawa.
Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena
dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus
dibungkus habis.
Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga
terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya
digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan,
menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan
pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri
ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu
domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta
Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh
Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang
ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga
proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan
kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar
keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan
ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun
sekaligus tidak jarang membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan
“mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman”
itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi
“keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan
babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Serat dan Babad
tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan
usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan
oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus
para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para
penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan
motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang berbeda
dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca
akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga
memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi
mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar,
sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut
“berasal dari caing (elur)”.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah
berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah
oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini
dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari
sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di
musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak
lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata).
Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi
Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di
tengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).
0 comments:
Post a Comment